Pengantar Tulisan
…menyuguhkan tulisan tentang sejarah suatu kota tanpa dibatasi kurun
waktu, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, karena jika terlalu
panjang, orang berfikir, yaa…baca saja Buku Sejarah resmi yang
diterbitkan oleh Pemda bersangkutan, jika pendek, bagian mana yang harus
dimuat, yang harus ditonjolkan, karena ini akan berhubungan dengan
masa/waktu, pelbagai kepentingan, tujuan, gaya dan selera penulisan,
maka tulisan ini’pun terbatas hanya sampai pada terbentuknya Kab Bekasi,
dan inilah, puspa ragam sejarah Bekasi, disarikan dari buku “Sejarah
Bekasi” terbitan Kantor Arpuslahta dan LPPM Unisma (2002), tanpa
bermaksud mengecilkan peranan suatu tokoh, kelompok atau suatu masa
perjuangan, tulisan ini semata-mata ingin mengenang, membangkitkan jiwa
patriotisme dan kebanggaan heroisme (jika bisa..) kepada orang Bekasi,
khususnya kawula muda Bekasi atau orang yang mengaku berjiwa Bekasi,
seperti pesan pejuang Bekasi yang “ditangkap” oleh Chairil Anwar dalam
satu kuplet “Krawang – Bekasi” …
Kenang-kenanglah kami,
Terus, teruskan djiwa kami
Teruskanlah perjuangan kami…
Bekasi, Masa Kerajaan…
Penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa
Jawa Kuno). Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata
Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan
Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan.
Pelafalannya kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau
Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena
pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA
Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian
berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
Candrabhaga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang
berdiri sejak abad ke 5 Masehi. Ada 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan
adanya kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman,
yakni : Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti
Muara Cianteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi
(ke enam prasasti ini ada di Daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah
Bandung Selatan (Prasasti Cidangiang).
Diduga bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara
(Prasasti Tugu, berbunyi : ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga
digali oleh Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir hingga ke
laut, bahkan kali ini mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian,
semasa 22 tahun dari tahta raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh
panji-panjinya menggali kali yang indah dan berair jernih, “Gomati”
namanya. Setelah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman Yang Mulia
Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yaitu pada
tanggal 8 paro petang bulan phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro
terang bulan Caitra. Jadi, selesai hanya 21 hari saja. Panjang hasil
galian kali itu mencapai 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan
yang dipimpin oleh para Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…).
Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman
untuk menggali kali Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi sawah dan
menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan
Tarumanagara.
Setelah kerajaan Tarumanagara runtuh (abad 7), kerajaan yang
memiliki pengaruh cukup besar terhadap Bekasi adalah Kerajaan
Padjadjaran, terlihat dari situs sejarah Batu Tulis (di daerah Bogor),
Sutarga lebih jauh menjelaskan, bahwa Bekasi merupakan bagian dari
wilayah Kerajaan Padjadjaran dan merupakan salah satu pelabuhan sungai
yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Bekasi menjadi kota yang
sangat penting bagi Padjadjaran, selanjutnya menjelaskan bahwa:
“..Pakuan adalah Ibukota Kerajaan Padjadjaran yang baru. Proses
perpindahan ini didasarkan atas pertimbangan geopolitik dan strategi
militer. Sebab, jalur sepanjang Pakuan banyak dilalui aliran sungai
besar yakni sungai Ciliwung dan Cisadane. Oleh sebab itu, kota-kota
pelabuhan yang ramai ketika itu akan mudah terkontrol dengan baik
seperti Bekasi, Karawang, Kelapa, Tanggerang dan Mahaten atau Banten
Sorasoan…”
Demikianlah, waktu berlalu, kerajaan-demi kerajaan tumbuh,
berkembang, mengalami masa kejayaan, runtuh, timbul kerajaan baru.
Kedudukan Bekasi tetap menempati posisi strategis dan tercatat dalam
sejarah masing-masing kerajaan (terakhir tercatat dalam sejarah,
kerajaan yang menguasai Bekasi adalah Kerajaan Sumedanglarang, yang
menjadi bagian dari Kerajaan Mataram). Bahkan bukti-bukti mengenai
keberadaan kerajaan ini sampai sekarang masih ada, misalnya :
ditemukannya makam Wangsawidjaja dan Ratu Mayangsari (batu nisan), makam
Wijayakusumah serta sumur mandinya yang terdapat di kampung Ciketing,
Desa Mustika Jaya, Bantargebang. Dimana baik batu nisan maupun kondisi
sumur serta bebatuan sekitarnya, menunjukkan bahwa usianya parallel
dengan masa Kerajaan Sumedanglarang. Demikian pula penemuan rantai di
Kobak Rante, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukakarya (konon katanya, daerah
Kobak Rante adalah daerah pinggir sungai yang cukup besar, hingga mampu
dilayari kapal. Jalur ini sering digunakan patroli kapal dari
Sumedanglarang. Suatu waktu, kapal bernama Terongpeot terdampar disana,
sungai mengalami pendangkalan, Terongpeot tidak bisa berlayar, kayunya
menjadi lapuk dan tinggallah rantainya saja…)
Bekasi, masa pendudukan Belanda…
Melihat sejarah Bekasi pada masa pendudukan Belanda, hampir sama
dengan melihat sejarah Indonesia secara umum, karena letaknya berdekatan
dengan Jakarta, maka sejarah Jakarta, dari Jayakarta, Batavia, Sunda
Kalapa, sampai dengan Jakarta yang kita kenal sekarang melekat erat
dengan Bekasi.
Tahun 1610, saat Pangeran Jayakarta Wijayakrama mulai melakukan
perjanjian dagang dengan VOC (Verenigde Oost-indische Compagnie/semacam
Kamar Dagang Belanda), yang empat tahun kemudian (1614), Gubernur
Jendral’nya (Van Reijnst) mendapatkan ijin mendirikan benteng di sebelah
utara keraton. Tahun 1618, Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen
memperluas benteng hingga menjadi bangunan yang kokoh, berbentuk segi
empat dimana disetiap sudutnya, ditempatkan meriam yang mengarah ke
keraton. Tindakan provokasi dan mengancam ini, menimbulkan amarah
Pangeran Jayakarta, yang kemudian menyerang benteng ini. Serangan ini
ternyata sudah ditunggu oleh VOC, maka terjadilah pertempuran antara
pasukan Pangeran Jayakarta dengan VOC (April-Mei 1619). Dan sejarah
Indonesia mencatat, inilah awal bangsa Belanda (VOC dan kemudian
digantikan langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda) mulai menancapkan
kuku penjajahannya dibumi Indonesia.
Setelah menguasai Jayakarta/Batavia (1619), Belanda berusaha
memperluas daerah kekuasaannya ke Kerajaan Mataram, karena Raja Mataram
mempunyai pengaruh yang sangat besar di Pulau Jawa, upaya ini
menimbulkan kemarahan Sultan Agung Hanyorokokusumo.
Pada tahun 1628, Sultan mengerahkan 2 bergodo (setingkat Brigade)
angkatan lautnya untuk menyerang Batavia, yang dipimpin oleh Tumenggung
Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, serta dibantu oleh Tumenggung
Mandureja dan Tumenggung Upasanta. Penyerangan besar-besaran ini
dilakukan setelah pasukan Mataram pimpinan Kyai Rangga (Tumenggung
Tegal) gagal menguasai Banten pada April 1628. Tumenggung Baureksa
membawa 50 perahu perang yang dilengkapi persediaan beras, padi, kelapa,
gula dan pelbagai keperluan hidup sehari-hari. Namun, karena jarak dan
waktu yang lama, serangan ini dapat digagalkan Belanda karena kalah
persenjataan dan kekurangan pasokan logistik pasukan.
Walaupun mengalami kekalahan telak, pasukan Mataram tidak
mengendurkan niatnya untuk melakukan penyerangan kembali. Gelombang
kedua, pasukan Mataram berangkat ke Batavia pada pertengahan Mei 1629.
20 Juni 1629, pasukan infantri yang dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah,
Kyai Adipati Purbaya dan Kyai Adipati Puger yang juga dibantu oleh
Tumenggung Singaranu, Raden Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan
Kyai Sumenep, menyerbu Batavia. Sebelumnya pasukan Mataram telah
disiapkan matang dan jauh sebelum gerakan ofensif dilakukan. Sepanjang
rute perjalanan kearah Batavia sudah dikirim terlebih dulu para punggawa
yang bertugas menyediakan suplai logistik pasukan. Sejarah mencatat
daerah suplai logistik pasukan Mataram berada disekitar wilayah Tegal,
Cirebon, Indramayu, Karawang dan Bekasi (base camp di Bekasi berada di
daerah Babelan).
Batavia dikepung dari segala penjuru, pasukan Mataram yang pulang
dari Banten ikut menutup Batavia dari arah Barat (Kyai Rangga), tetapi
sejarah kemudian mencatat bahwa walaupun dikepung dari segala penjuru
ternyata Belanda dapat mempertahankan Batavia bahkan dapat memaksa
mundur pasukan Mataram ke daerah pedalaman. Kegagalan ini, menyebabkan
sebagian besar pasukan Mataram memilih untuk tidak kembali ke Mataram,
karena Sultan Agung sudah menurunkan titah bahwa “…akan membunuh
(dipenggal kepalanya) pasukan yang gagal melakukan penyerangan, bila
kembali ke Mataram..”. Pasukan Mataram ini, kemudian menetap di wilayah
Bekasi dan membaur dengan penduduk asli, terutama di sekitar daerah
pantai dan di pedalaman, misalnya di Pekopen (konon, Pekopen berasal
dari kata pe-kopi-an, artinya tempat istirahat dan ngopi’nya para
tentara Mataram), Cibarusah, Pondok Rangon (konon juga, merupakan pondok
tempat bala tentara Mataram mengadakan perundingan dan mengatur siasat
penyerbuan, didirikan oleh Pangeran Rangga), Tambun, dan bahkan ada pula
yang membuka perkampungan baru, karenanya sangat beralasan bila
pengaruh kebudayaan Jawa terasa di sebagian daerah Bekasi. Tentara
Mataram yang datang ke Bekasi, tidak hanya berasal dari Mataram saja
(Jawa Tengah), tetapi juga ada yang berasal dari Sumenep (Madura, Jawa
Timur), Kerajaan Padjadjaran, Galuh dan Sumedanglarang (Jawa Barat).
Karenanya di Bekasi terdapat daerah-daerah yang berbahasa Sunda, dialek
Banten, Jawa atau campuran. Kedatangan tentara Mataram selain
berpengaruh terhadap bahasa, penamaan tempat juga ikut memperkaya
khasanah budaya Bekasi, seperti Wayang Wong, Wayang Kulit, Calung,
Topeng dan lain-lain. Selain itu ada juga kesenian olah keprajuritan
“ujungan” yang menampilkan keberanian, ketrampilan dan sentuhan ilmu
bela diri, khas olah raga prajurit.
Bekasi, Masa Pemerintahan Hindia Belanda…
Bekasi, pada masa ini masuk ke dalam Regentschap Meester Cornelis,
yang terbagi atas empat district, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran,
Bekasi dan Cikarang. District Bekasi, pada masa penjajahan Belanda
dikenal sebagai wilayah pertanian yang subur, yang terdiri atas
tanah-tanah partikelir, system kepemilikan tanahnya dikuasai oleh
tuan-tuan tanah (kaum partikelir), yang terdiri dari pengusaha Eropa dan
para saudagar Cina. Diatas tanah partikelir ini ditempatkan Kepala Desa
atau Demang, yang diangkat oleh Residen dan digaji oleh tuan tanah.
Demang ini dibantu oleh seorang Juru Tulis, para Kepala Kampung, seorang
amil, seorang pencalang (pegawai politik desa), seorang kebayan
(pesuruh desa), dan seorang ulu-ulu (pengatur pengairan).
Untuk mengawasi tanah, para tuan tanah mengangkat pegawai atau
pembantu dekatnya, disebut potia atau lands opziener. Potia biasanya
keturunan Cina, yang diangkat oleh tuan tanah. Tugas potia adalah
mengawasi para pekerja, serta mewakili tuan tanah apabila tidak ada
ditempat. Disamping itu ada juga Mandor yang menguasai suatu wilayah,
disebut wilayah kemandoran. Dalam praktek sehari-hari, mandor sangatlah
berkuasa, seringkali tindakannya terhadap para penggarap melampaui
batas-batas kemanusiaan. Para penggarap adalah pemilik tanah sebelumnya,
yang tanahnya dijual pada tuan tanah. Orang yang diangkat mandor
biasanya dari para jagoan atau jawara yang ditakuti oleh para penduduk.
Distrik Bekasi terkenal subur yang produktif, hasilnya lebih baik
jika dibandingkan dengan distrik-distrik lain di Batavia, distrik Bekasi
rata-rata mencapai 30-40 pikul padi setiap bau, sedangkan distrik lain
hanya mampu menghasilkan padi 15-30 pikul setiap bau’nya. Namun demikian
yang menikmati hasil kesuburan tanah Bekasi adalah Sang tuan tanah,
bukanlah rakyat Bekasi. Rakyat Bekasi tetap kekurangan, dalam kondisi
yang serba sulit, seringkali muncul tokoh pembela rakyat kecil, semisal
Entong Tolo, seorang kepala perambok yang selalu menggasak harta
orang-orang kaya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat kecil,
karenanya rakyat sangat menghormati dan melindungi keluarga Entong Tolo,
Sang Maling Budiman, Robin Hood’nya rakyat Bekasi. Di hampir semua
wilayah Bekasi memiliki cerita sejenis, dengan versi dan nama tokoh yang
berbeda. Hal ini juga, yang mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat Bekasi, terhadap sesuatu yang berhubungan dengan
ke’jawara’an.
Setelah Entong Tolo ditangkap dan dibuang ke Menado, tahun 1913 di
Bekasi muncul organisasi Sarekat Islam (SI) yang banyak diminati
masyarakat yang sebagian besar petani. Berbeda dengan di daerah lain,
kepengurusan SI Bekasi didominasi oleh kalangan pedagang, petani, guru
ngaji, bekas tuan tanah dan pejabat yang dipecat oleh Pemerintah Hindia
Belanda, serta para jagoan yang dikenal sebagai rampok budiman. Karena
jumlah yang cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi kekuatan yang
dominan ketika berhadapan dengan para tuan tanah. Antara 1913-1922, SI
Bekasi menjadi penggerak berbagai protes sebagai upaya penentangan
terhadap berbagai penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan kerja
paksa (rodi), protes petani di Setu (1913) sampai pemogokkan pembayaran
“cuke” (1918).
Bekasi, masa pendudukan Jepang…
Kedatangan Jepang di Indonesia bagi sebagian besar kalangan rakyat,
memperkuat anggap eksatologis ramalan Jayabaya (buku “Jangka Jayabaya”,
mengungkapkan :”…suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari utara
yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya akan memerintah
sebentar yakni selama ‘seumur jagung’, sebagai Ratu Adil yang kelak akan
melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan…”
Pada awalnya, penaklukan Jepang terhadap Belanda disambut dengan
suka cita, yang dianggap sebagai pembebas dari penderitaan. Rakyat
Bekasi menyambut dengan kegembiraan, dan semakin meluap ketika Jepang
mengijinkan pengibaran Sang Merah Putih dan dinyanyikannya lagu
Indonesia Raya. Namun kegembiraan rakyat Bekasi hanya sekejap, selang
seminggu pemerintah Jepang mengeluarkan larangan pengibaran Sang Merah
Putih dan lagu Indonesia Raya. Sebagai gantinya Jepang memerintahkan
seluruh rakyat Bekasi mengibarkan bendera “Matahari Terbit” dan lagu
“Kimigayo”. Melalui pemaksaan ini, Jepang memulai babak baru penindasan,
yang semula dibanggakan sebagai “saudara tua”.
Kekejaman tentara Jepang semakin kentara, ketika mengintruksikan
agar seluruh rakyat Bekasi berkumpul di depan kantor tangsi polisi,
untuk menyaksikan hukuman pancung terhadap penduduk Telukbuyung bernama
Mahbub, yang ditangkap karena disuga sebagai mata-mata Belanda dan
menjual surat tugas perawatan kuda-kuda militer Jepang. Hukum pancung
ini sebagai shock theraphy agar menimbulkan efek jera dan ketakutan bagi
rakyat Bekasi. Bala tentara Jepang juga memberlakukan ekonomi perang,
padi dan ternak yang ada di Bekasi Gun dicatat, dihimpun dan wajib
diserahkan kepada penguasa militer Jepang. Bukan saja untuk keperluan
sehari-hari tapi juga untuk keperluan jangka panjang, dalam rangka
menunjang Perang Asia Timur Raya.
Akibatnya, rakyat Bekasi mengalami kekurangan pangan, keadaan ini
makin diperparah dengan adanya “Romusha” (kerja rodi). Pemerintah
militer Jepang juga melakukan penetrasi kebudayaan dengan memaksa para
pemuda Bekasi untuk belajar semangat bushido (spirit of samurai),
pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang). Para pemuda dididik melalui
kursus atau dengan melalui pembentukan Seinendan, Keibodan, Heiho dan
tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang kemudian langsung ditempatkan
kedalam organisasi militer Jepang.
Selain organisasi bentukan Jepang, pemuda Bekasi mengorganisasikan
diri dalam organisasi non formal yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi
(GPIB), yang didirikan pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam
Bekasi yang setiap malam Jum’at mengadakan pengajian di Mesjid Al
–Muwahiddin, Bekasi, para anggotanya terdiri atas pemuda santri, pemuda
pendidikan umum dan pemuda “pasar” yang buta huruf. Awalnya GPIB
dipimpin oleh Nurdin, setelah ia meninggal 1944, digantikan oleh Marzuki
Urmaini. Hingga awal kemerdekaan BPIB memiliki anggota yang banyak,
markasnya di rumah Hasan Sjahroni, di daerah pasar Bekasi, banyak
anggotanya kemudian bergabung ke-BKR dan badan perjuangan yang dipimpin
oleh KH Noer Alie. GPIB banyak memiliki Cabang antara lain, GPIB Pusat
Daerah Bekasi (Marzuki Urmaini dan Muhayar), GPIB Daerah Ujung Malang
(KH Noer Alie), GPIB Daerah Tambun (Angkut Abu Gozali, GPIB Kranji (M.
Husein Kamaly) dan GPIB Cakung (Gusir).
Bekasi, masa kemerdekaan…
Awal Agustus 1945, tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu kian
santer terdengar, terutama di kawasan Asia Pasifik. Setelah bom atom
“memeluk erat” Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah. Gelora
kemerdekaan tidak hanya milik pemuda Jakarta saja, pemuda Bekasi’pun
menyambut antusias, ketika diminta mengawal dan menjaga keamanan Bung
Karno dan Bung Hatta beserta rombongan yang “bergerak” ke Rengasdenglok,
pemuda Bekasi bergerak bahu-membahu mengamankan jalur perjalanan kedua
pemimpin tersebut, berangkat maupun kembali (bagi masyarakat yang
dilintasi jalur perjalanan, memiliki nostalgia heroik’nya tersendiri,
dan jalur inilah oleh rakyat Bekasi disebut dengan Jalan Lintas
Proklamator, melintas wilayah kecamatan Kedungwaringin, Cikarang Timur,
Karangbahagia.
Setelah peristiwa ini, esok harinya Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan, pk 10.00 WIB di Pegangsaan Timur 56, atas nama Bangsa
Indonesia, Soekarno-Hatta membacakan Teks Proklamasi, yang kemudian
disiarkan ke seluruh pelosok Indonesia. Rakyat termasuk rakyat Bekasi
menyambut dengan penuh suka cita. Inilah titik awal untuk membangun
bangsa setelah berabad-abad dibawah cengkraman penjajah, menjadi bangsa
yang merdeka, wahai…alangkah indahnya !!
Sisi lain kabar gembira ini juga menimbulkan tindakan kekerasan,
rakyat melampiaskan kemarahannya yang sudah terpendam lama akibat
kekejaman tentara Jepang. Peristiwa pelucutan senjata dan pembunuhan
terjadi juga di Bekasi. Peristiwa pembunuhan tuan tanah Telukpucung dan
penahanan 49 truk milik Jepang pada 25 Agustus 1947 (2 truk bermuatan
senjata disita, sedang 47 truk yang berisi tentara Jepang diperintahkan
langsung ke Jakarta).
Insiden Kali Bekasi, sebuah epos yang memiliki arti yang sangat
dalam bagi Rakyat Bekasi, menggambarkan keberanian Rakyat Bekasi,
sekaligus tragis. Kali Bekasi merupakan garis demarkasi antara tentara
sekutu (Inggris dan NICA) yang menduduki Jakarta dengan laskar-laskar
Republik yang bertahan di seberang kali di bagian timur. Akibat
pendudukan tentara Jepang yang kejam terhadap rakyat Bekasi, pemuda dan
rakyat Bekasi bertindak sendiri dengan menangkap Orang-orang Jepang atau
bahkan siapa saja yang diduga telah bekerja sama dengan Jepang. Pemuda
dan rakyat Bekasi menghentikan setiap kereta api yang melintas Bekasi,
baik yang keluar maupun menuju Jakarta. 19 Oktober 1945, meluncur kereta
dari Jakarta yang mengangkut tawanan Jepang menuju Ciater (dipulangkan
melalui lapangan udara Kalijati), kereta tersebut berhasil lolos dari
hadangan, setibanya di Cikampek dihentikan oleh para pejuang disana dan
diperintahkan kembali ke Jakarta. Rakyat Bekasi sudah menunggu, di
Stasiun Bekasi seluruh gerbong kereta digeledah, ditemukan 90 orang
tentara Jepang. Rakyat beringas ketika ditemukan senjata api milik
seorang tawanan (ada ketentuan bahwa Jepang wajib menyerahkan seluruh
persenjataannya), seluruh tawanan ditelanjangi dan ditempatkan di Rumah
Gadai tepi kali Bekasi, yang dijadikan penjara sementara. Awak kereta
sudah mencoba mencegah penggeledahan terhadap tawanan dengan menunjukkan
surat perintah jalanan dari Menteri Subardjo yang ditandatangani Bung
Karno, rakyat Bekasi tidak perduli, kemarahan memuncak karena pengalaman
sejarah yang begitu kejam pada masa pendudukan Jepang. Setelah maghrib,
seluruhnya digelandang ke tepi Kali Bekasi dan dibantai. Kali Bekasi
yang jernih memerah darah.
Laksamana Maeda protes, meminta pertanggung-jawaban R. Soekanto
(Kapolri waktu itu) dan meminta jaminan agar peristiwa seperti itu tidak
terjadi lagi. Bunyi surat Maeda “…Kedjadian ini boleh dibilang beloem
terdjadidalam Sedjarah doenia, dan kelakoean sematjam ini menodai
perasaan soetji terhadap jang maha koeasa serta menghina terhadap
perasaan kemanoesiaan. Hal ini dipandang sebagai boekti bahwa bangsa
Indonesia dengan sikap jang demikian itoe tidak mempoenjai pendirian
tegoeh di doenia ini. Djika dibiarkan keadaan semacam itoe mungkin akan
meradjalela…etc”. R. Soekanto mendjawab, sekaligus sebagai pernyataan
sikap pemerintah Republik, “… sesoenggoehnja jang mempoenjai hak
mendjalankan hoekoeman menembak mati hanjalah pemerintah Repoeblik
Indonesia, akan tetapi daerah Bekasi itoe seperti toean ketahoei ialah
soeatoe daerah dimana rakjat beloem sama sekali toendoek kepada
pemerintah Repoeblik Indonesia. Seperti dalam soerat itoe telah
menjatakan penjelasan kami atas kedjadian itoe, maka pemerintah
Repoeblik Indonesia telah beroesaha sebaik2-nja oentoek menolong 90
orang serdadoe Jepang itoe, akan tetapi oesaha itoe gagal…”. Akibat
Insiden Kali Bekasi, Bung Karno merasa perlu untuk datang ke Bekasi (25
Oktober 1945), menenangkan rakyat Bekasi dan menghimbau agar peristiwa
serupa itu tidak terulang lagi. Setelah Presiden memberikan amanatnya,
rakyat Bekasi membubarkan diri dengan tenang.
Belanda masih belum rela melepas kuku’nya di Indonesia, “ndompleng”
tentara Sekutu yang secara resmi membawa tugas sebagai Allied Prisoners
of War and Interness/APWI (melucuti dan memulangkan tentara Jepang,
mengevakuasi tawanan perang, menjaga keamanan dan ketertiban di bekas
pendudukan Jepang yang diambil alih). Maksud Belanda kembali menguasai
bumi pertiwi ini, membakar kemarahan Bangsa Indonesia, pemuda Bekasi
berang, semboyan “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka”, “Rawe2 Rantas, Malang2
Poetoeng”, “Bekasi Pantang Moendoer”, serta salam pekikan “MERDEKA”
membahana di atmosfir Bekasi. Beribu-ribu rakyat Bekasi bersenjatakan
bambu runcing, golok, keris dan beberapa pucuk senjata api hasil
pampasan, rakyat Bekasi tetap menerobos barikade, menyerbu Jakarta,
Lapangan Ikada. Membuktikan kepada dunia, bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah berdiri dan ada! (Rapat besar Ikada tidak berlangsung
mulus, Bung Karno hanya meminta rakyat untuk tetap tenang dan kembali ke
rumah masing-masing).
Peristiwa Bekasi Lautan Api, juga merupakan sebuah bukti catatan
Sejarah Perjuangan Rakyat Bekasi, yang banyak merenggut jiwa-jiwa
patriotisme dalam mempertahankan kemerdekaan. Bermula dari jatuhnya
pesawat Dakota Inggris di Rawa Gatel, Cakung (wilayah Bekasi ketika
itu). Rakyat mengepung pesawat, seluruh awak pesawat dan penumpang (4
orang awak pesawat berkebangsaan Inggris dan 22 berkebangsaan
India-Sykh, orang Bekasi nyebutnya “tentara ubel-ubel”), ditangkap
dilucuti senjata serta pakaiannya, dibawa ke Markas TKR Ujung Menteng
(pimpinan Umar Effendi dan Muhammad Amri), selanjutnya ditahan di tangsi
polisi Bekasi.
Sekutu kemudian mengirimkan maklumat, kepada pejuang Bekasi
(diterima Dan TKR Yon V, Mayor Sambas Atmadinata), isinya : “…segera
seluruh tentara Inggris yang ditawan di Bekasi agar dikembalikan kepada
pihak Inggris. Apabila tidak dikembalikan, maka Bekasi akan
dibumi-hanguskan…”, Rakyat dan Pemuda Bekasi menolak isi maklumat
tersebut (gue kagak takut, coy…!) tiga hari kemudian seluruh tawanan
dibunuh.
Inggris mengirimkan Batalyon Infantri dan Artileri’nya (tentara
Punjab ke-1/16, Skuadron Kavaleri FAVO ke-11, Pasukan Perintis ke-13,
Pasukan Resimen Medan ke-37 dan Detasemen Kompi Medan ke-69), bergerak
dari Jakarta menuju Cakung, melewati garis demarkasi dan memasuki
wilayah Kranji. Pemuda dan Rakyat Bekasi melakukan penghadangan di Kp.
Rawa Pasung, pintu lintasan kereta ditutup, rakyat Bekasi bersembunyi
disemak-semak sekitarnya. Sekutu berhenti, disangkanya ada kereta yang
akan melintas, saat lengah, rakyat Bekasi muncul dari semak-semak
melumpuhkan pasukan sekutu yang membawa perlengkapan perang modern,
bahkan pemuda Bekasi tanpa menghiraukan nyawanya, dengan gagah berani,
naik keatas Panser. Pertempuran jarak dekat ini, membuat tentara Sekutu
“keder”, mereka menarik mundur pasukan.
Sekutu kembali menyerang, dengan kekuatan lebih besar, puluhan truk
berisi serdadu Inggris dan India (prajurit Punjab dalam dunia militer,
terkenal dengan belati “kukri”nya) puluhan panser dan pesawat terbang
menyerbu Bekasi. Rakyat Bekasi merubah taktik pertempuran, pusat kota
dikosongkan, membentuk pasukan-pasukan kecil yang gagah berani, hit and
run dijalankan, gerilya kota dimulai…, karena takut dan tidak menguasai
wilayah, serdadu Inggris selalu berkelompok dalam pasukan jumlah besar.
Ketika pasukan Inggris sampai di tangsi Bekasi, mereka tidak
menemukan seorangpun pejuang Bekasi, hanya menemukan mayat
teman-temannya yang telah membusuk dan sebagian dikubur di belakang
Tangsi Polisi Bekasi. Akibat kejadian itu, Sekutu mulai melakukan
provokasi dengan melakukan penyerangan secara sporadis, pesawat udara
dan pasukan darat melakukan serangan membabi buta, pesawat udara
menggunakan bom-bom pembakar, pasukan darat membakari rumah-rumah
penduduk.
Kampung Dua Ratus terbakar, kemudian meluas ke Kayuringin, Teluk
Buyung, Teluk Angsan dan Pasar Bekasi. Bekasi Timur dan Barat berubah
seperti “api unggun raksasa”, langit Bekasi menghitam, dipenuhi asal
mengepul ke udara, hitam pekat. Pembakaran berlangsung hampir satu malam
penuh, paginya hanya menyisakan asap dan debu, puing-puing berserakan.
Ibu-ibu, anak-anak dan orang tua berteriak histeris menyaksikan ulah
tentara Sekutu. Masyarakat Bekasi mengungsi, tidak dapat berbuat banyak
untuk menyelamatkan harta bendanya.
Peristiwa ini menjadi berita besar bagi pers Nasional maupun
Internasional, pers internasional mengutuk tindakan Inggris yang
mengibaratkan dengan tindakan Nazi Jerman yang membakar habis kota
Lydice-Cekoslowakia dalam Perang Dunia II. Perdana Menteri Sjahrir
menyatakan “…jika Inggris menggunakan kekerasan untuk mengembalikan
keamanan di Djawa, maka semua orang Indonesia akan melawan sebisa dia.
Merdeka!!…”. Rosihan Anwar, yang sedang melakukan perjalanan ke
Yogyakarta, pagi harinya, menyaksikan Bekasi dari sela-sela jendela
kereta, menggambarkan…”Waktoe kita melewati Bekasi nampaklah di tepi
djalan roemah2 habis terbakar menjadi deboe sebagai akibat kekerasan
Inggris. Pemandangan amat menjedihkan, mengingatkan kita bahwa disana
ada djedjak peperangan. Akan tetapi djoestroe dekat reroentoehan roemah
itoe kita melihat perempoean toeroen ke sawah memasoekan benih-benih ke
dalam loempoer. Pertentangan ini mengharoekan djiwa moesafir, sebab
didekat reroentoehan moentjoel dengan tabahnya oesaha menghidoepkan.
Itoelah bangsa Indonesia penoeh vitaliteit, mempunyai banjak kegembiraan
dan tenaga hidoep ber-limpah2…”
Bekasi, terbentuknya Kabupaten Bekasi…
Berdasarkan aturan hukum pada saat itu dan melihat kegigihan rakyat
memperjuangkan aspirasinya untuk membentuk suatu pemerintahan
tersendiri, setingkat Kabupaten, mulailah para tokoh dan rakyat Bekasi
berjuang agar pembentukan tersebut dapat terealisasikan. Awal tahun
1950, para pemimpin rakyat diantaranya R. Soepardi, KH Noer Alie, Namin,
Aminudin dan Marzuki Urmaini membentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi”,
dan mengadakan rapat raksasa di Alun-alun Bekasi (17 Januari1950), yang
dihadiri oleh ribuan rakyat yang datang dari pelbagai pelosok Bekasi,
dihasilkan beberapa tuntutan yang terhimpun dalam “Resolusi 17 Januari”,
yang antara lain menuntut agar nama Kabupaten Jatinegara dirubah
menjadi Kabupaten Bekasi, tuntutan itu ditandatangani oleh Wedana Bekasi
(A. Sirad) dan Asisten Wedana Bekasi (R. Harun).
Usulan tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan
menyetujui penggantian nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten
Bekasi”, persetujuan ini semakin kuat dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 14 Tahun 1950 yang ditetapkan tanggal 8 Agustus 1950
tentang : Pembentukan Kabupaten-kabupaten di lingkungan Propinsi Jawa
Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1950
tentang berlakunya undang-undang tersebut, maka Kabupaten Bekasi secara
resmi terbentuk pada tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumah
tangganya sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Pemerintah
Daerah pada saat itu, yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya, ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->
Tingkat II Kabupaten Bekasi, bahwa tanggal 15 Agustus 1950 sebagai HARI JADI KABUPATEN
BEKASI, dan R. Suhandan Umar (sebelumnya Bupati Jatinegara) sebagai
Bupati Bekasi pertama, kedudukan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten
Bekasi tetap di Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta,
Jakarta).
Penutup Tulisa
Dalam perjalanannya kemudian, Bekasi mengalami perkembangan yang
sangat pesat, menjadi kawasan industri yang men”dunia”, kawasan industri
yang tidak hanya berisi pabrik-pabrik, tetapi juga didalamnya bercokol
juga plaza, mal-mal, perumahan, lapangan golf, pusat bisnis bahkan
sekolah-sekolah unggulan, dari sejak children play group sampai
perguruan tinggi bertaraf nasional maupun international, yang mungkin
pada jaman ‘Entong Tolo’ dulu, tak akan pernah bisa kita bayangkan.
Di sisi lain, Kabupaten Bekasi juga kini telah melahirkan seorang
putra yang cantik nan rupawan, montok dan moleg, sexy dan mumpuni, bak
pemain sinetron yang lagi digandrungi, Kota Bekasi. Kita, masyarakat
Kabupaten Bekasi, orang tua’nya, selalu berdoa semoga putera ini sehat,
pinter, berguna bagi nusa, bangsa, agama dan bangsanya, dan tidak
menjadi Malin Kundang bagi orang tuanya….
Dengan terbentuknya Kota Bekasi, kita harus mampu menggali
nilai-nilai kesejarahan yang ada di wilayah kabupaten (tanpa harus
meninggalkan kebersamaan sejarah dengan kota), untuk dapat meningkatkan
rasa kebanggaan dan rasa memiliki yang tinggi, sebagai warga masyarakat
Kabupaten.
(sumber humas kab bekasi blog
NSBB komunitas Bocah ledok bekasi nyeng peduli budaya ama bahasanya dewek... bahasa Bekasi Bahasa Enya Baba... liwat kesamaan bahasa ama budaya nyeng di sinyalir senjata paling ampuh bakal nyatuin Bangsa... nyambungin persodaraan bocah bekasi nyeng ampir pada kematian obor... Nyo abang empo ence ende ntong... jadiin Bahasa BEkasi Tuan rumah dikampung dewek....
Senin, 30 September 2013
Minggu, 29 September 2013
Ngamprok Rombongan NSBB Di Rawa Jodoh 29-09-13
Ngamprok Rombongan NSBB Di Rawa Jodoh (Cibereum) TAmbun.....
Bukti Keguyuban Bocah Bekasi...... Bukti Kepedulian Bocah Bekasi ama Bahasanya Dewek....
NYO Sodara-Sodara Mulain dari diri kita, kita Kembali ke Bahasa Enya Baba... Jadiin Bahsa Bekasi Bahasa Se Ari-ari di Kampung Kita.....
Kalu Bukan KitA Sapah Lagi...........
Jayalah NSBB....
JAyalah Bekasi.........
Bukti Keguyuban Bocah Bekasi...... Bukti Kepedulian Bocah Bekasi ama Bahasanya Dewek....
NYO Sodara-Sodara Mulain dari diri kita, kita Kembali ke Bahasa Enya Baba... Jadiin Bahsa Bekasi Bahasa Se Ari-ari di Kampung Kita.....
Kalu Bukan KitA Sapah Lagi...........
Jayalah NSBB....
JAyalah Bekasi.........
Kamis, 26 September 2013
Ngamprok Bareng
Ngamprok ama Braya Bekasi Barian Ngomongin Budaya Bekasi & Silaturahmi Nyambut Datengnya Bulan Suci Ramdhan.... NSBB ama Budayawan ama tokoh masyarakat bekasi....
Senin, 23 September 2013
Aktivitas Group FB NSBB
KIRIMAN TERBARU
- neba lagih..............aki aki duduk senderan,ngopi nyo biar segeran. — di Kampung Pulo Tambun.
- KIRIMAN TERDAHULU
Langganan:
Postingan (Atom)